Samarinda, biwara.co – Permohonan uji materi revisi undang-undang (UU) nomor 35/2009 tentang Narkotika yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual, memasuki sidang lanjutan, dengan agenda pemeriksaan ahli dan pemohon.
Psikiatri dan Guru Besar Neuropsychopharmacology asal Imperial College Londong, David Nutt selaku saksi ahli menyatakan bahwa tanaman ganja terbukti aman digunakan untuk kebutuhan medis.
“Isu utama dalam pemanfaatan ganja adalah pengobatan, sehingga cara yang paling tepat adalah memberdayakan para dokter untuk memanfaatkan obat-obatan yang ada, termasuk ganja, secara benar,” terangnya, Senin (30/8/21).
Menurut Guru besar asal Inggris ini, sejak 5000 tahun lalu tanaman ganja sudah dimanfaatkan untuk kesehatan saat ini sudah banyak negara yang memanfaatkan tanaman ganja untuk kesehatan.
David menjelaskan bahwa THC memiliki manfaat medis yang paling baik, jika dibandingkan dengan zat lain, seperti metadhone, duloxetine, hingga tremadol.
Untuk pengobatan pasien dengan sindrom kejang, seperti epilepsi misalnya, dengan menggunakan produk obat berbasis cannabis (genus tanaman ganja) juga terbukti memberikan hasil yang baik secara signifikan.
Hal ini kemudian menegaskan upaya pengobatan terapi dupa ganja yang dilakukan oleh salah seorang pemohon, Dwi Pertiwi yang memiliki seorang anak penderita cerebral palsy.
“Dan ini juga berlaku bagi kondisi cerebral palsy yang dimiliki oleh anak-anak dari para pemohon,” lanjutnya.
Disinggung mengenai adanya kekhawatiran negara akan potensi penyalahgunaan, David menekankan bahwa pelarangan tidak akan berpengaruh pada angka penyalahgunaan narkotika. Tak terkecuali di Indonesia.
“Intinya, pemanfaatan ganja medis tepat dilakukan sesuai dengan keahlian dan pengetahuan ilmiah berdasarkan penelitian,” tegas David.
Saksi ahli, David Nutt dalam perjalanannya hingga saat ini telah menulis 500 lebih jurnal dan artikel ilmiah, serta buku atau literatur melalui penelitian klinis terkait bahaya kandungan obat-obatan narkotika.
Tulisan-tulisannya tersebut banyak dijadikan sumber rujukan diberbagai negara, seperti di Amerika Serikat, Finlandia, Norwegia, Belanda, New Zealand, dan beberapa negara lainnya.
Uji materi revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ini digelar setelah tiga ibu dari anak-anak yang menderita cerebral palsy menginginkan adanya pengobatan dengan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja), sebagaimana telah berkembang di dunia.
Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayanti merupakan pemohon uji materi ini.
Pemohon, Dwi Pertiwi, sebelumnya telah memiliki pengalaman pernah memberikan terapi dupa ganja (cannabis oil) kepada anaknya yang menderita cerebral palsy semasa terapi di Victoria, Australia, pada 2016 lalu.
Setelah pulang ke Indonesia, Pemohon menghentikan terapi tersebut karena adanya sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika. Demikian pula dengan dua ibu lainnya yang menjadi pemohon.
Menurut pemohon, larangan tersebut secara jelas menghalangi pemohon mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak pemohon.(*)